Antologi Luka dan Ruang Persembunyian

Pada akhirnya, semuanya Para Petarung itu kalah oleh dirinya sendiri. Memang pertarungan paling sulit adalah ketika seseorang bertarung dengan dirinya sendiri. Bertarung melawan masa lalunya, melawan ambisinya sendiri. Tetapi masing-masing tokoh juga menang dalam pilihan-pilihan yang telah mereka tentukan, lepas apakah itu tepat atau tidak menurut dunia.

Oleh: Indah Darmastuti

MUSIK menghentak dan suara choir berkostum hitam putih menggema ketika sorot lampu pelan-pelan menyibak kegelapan panggung. Menyusul tokoh Birawa memanggil satu persatu nama hingga terkumpul tujuh karakter. Mereka semua adalah karyawan perusahaan milik Den Karso. Kabar gembira disampaikan Birawa bahwa mereka semua mendapat kenaikan pangkat, kecuali Suli.

Kegembiraan ditampilkan. Tetapi tidak semua bergembira karena ada teman yang berdiri di pojok, dialah Suli yang tidak mendapatkan kenaikan pangkat. Kemudian satu tokoh protes tetapi seperti laiknya di perusahaan atau di sebuah lembaga yang besar, protes satu orang bukan berarti apa-apa. Keputusan tetap jalan.

Asa Jatmiko sebagai penulis naskah dan sutradara telah menyuguhkan pertanyaan penting di awal sehingga saya sebagai penikmat pertunjukan siap menunggu sebuah jawaban. Ada apa?

Rupanya tak perlu menunggu lama, pertanyaan itu terjawab bahwa Suli hamil oleh Den Karso. Persyaratan untuk bisa naik jabatan adalah apabila Suli bersedia menggugurkan kandungannya, namun Suli menolak. Sebagai perempuan, ia telah bertarung dengan dirinya sendiri dan memperjuangkan hak-nya, mempertahankan janin meskipun bayi itu meninggal ketika dilahirkan. Suli sudah memilih namun pertarungan belum selesai.

Kasus Suli bukan satu-satunya luka yang butuh disembuhkan terutama oleh dirinya sendiri. Panggung yang ditata sederhana dengan dominasi warna hitam itu menjadi tempat untuk mengungkapkan sisi gelap masing-masing karakter dalam perusahaan itu. Rupanya mereka menyimpan dan menciptakan ruang persembunyian bagi kekelamannya sendiri-sendiri hingga akhirnya luka demi luka disampaikan oleh masing-masing tokoh.

Masa lalu Partiyem sebagai pekerja seks ia ungkap sendiri. Sebuah pengakuan yang tentu tak mudah bagi seorang perempuan apalagi ia sudah menjadi karyawan dengan kedudukan yang baik. Namun temannya telah menuduhnya memanipulasi laporan keuangan. Persis pada babak itu, adegan bergulir masing-masing tokoh karyawan terlihat saling sikut dan jegal. Mereka bertarung dengan sesama karyawan dan bertarung dengan dirinya sendiri dalam waktu yang bersamaan.

Tak ada tokoh utama, semua karakter menjadi tokoh utama yang belum selesai dengan dirinya sendiri. Mereka mengungkap cerita hidup masing-masing. Bicara tentang luka dan tempat persembunyian yang akhirnya terurai satu persatu. Misalnya tokoh Sukeni yang menuduh Partiyem sebagai koruptor justru sebenarnya ia sendiri yang melakukannya, dan uang itu dipakai untuk membangun tempat ibadah, yang ia anggap sebagai pencapaian spiritual perihal kedamaian jiwa.

Selama sembilan puluh menit sepanjang pertunjukan itu, saya seperti diajak membaca buku. Mengikuti setiap alur yang digerakkan oleh para tokoh. Hingga sampai pada bagian yang saya curigai di awal. Pasti ada sesuatu antara Birawa dengan Suli. Gestur itu sudah saya tangkap sejak Birawa membawa martabak telor yang langsung bikin saya juga kepingin dibelikan martabak di dekat alun-alun itu.

Saat Birawa memastikan kehendak Den Karso telah disampaikan kepada Suli soal kandungannya yang digugurkan, ada misteri turut terangkut di dalamnya. Birawa mencintai Suli namun rasa yang dimiliki oleh Birawa itu diremuk oleh Den Karso. Birawa orang kepercayaan Den Karso. Dia sebagai orang yang berpengaruh dan mempertaruhkan hidupnya demi perusahaan Den Karso, tetap saja dikalahkan kehendak berkuasa-nya Den Karso. Namun tidak demikian halnya Suli. Den Karso yang kuat dan berkuasa itu tak mampu menaklukkan keteguhan hati Suli untuk menuruti kehendaknya.

Suli yang dalam “Para Petarung” ini ditampilkan sebagai perempuan lemah, lugu, nrima dan introvert itu justru menyimpan kekuatan dan keteguhan yang besar. Dia seorang diri menghadapi kepahitannya. Dia seperti berada di luar ketika para karyawan saling jegal bahkan sampai membunuh, Suli tetap hening dalam kepahitan.

Kelindan persoalan ini akhirnya pecah di dada saya ketika menyaksikan kejujuran Birawa tentang perasaannya kepada Suli yang rupanya juga disambut. Pada adegan ini terasa manis sekali. Berdua masuk dalam bingkai yang pelan-pelan diturunkan dan lampu didistorsi memusat pada mereka berdua. Secara visual, ini sangat indah, secara makna, ini sangat dalam, secara cerita, bagian ini telah meredakan semua kemelut yang sejak awal ditampilkan.

Tetapi rupanya belum selesai. Saya menjadi gelisah dengan kemunculan Malik yang benar-benar sudah berubah. Pada awal kemunculannya, dia tampil sebagai karyawan baru yang culun, lugu dan tampak lemah, yang diseret Martosuto ke dalam masalah berbahaya, yaitu masuk ke runag privat milik Den Karso, yang kemudian tertangkap basah oleh Karsito kemudian ia dibunuh oleh sesama karyawan karena Martosuto telah berhasil memutar balikkan fakta.

Barangkali itu adalah pelajaran pertama untuk Malik, pintarlah menyikapi peluang. Hingga akhirnya ia kini tampil penuh percaya diri dan bisa menjadi orang dekat Den Karso. Dengan tenang ia memanggil Birawa untuk menghadap Den Karso. Namanya juga Karso, kang kagungan kersa. Perintah tak bisa dibantah. Birawa kaget dan gugup. Persis di situ saya khawatir kalau Birawa dan Suli akan dilenyapkan.

Masih tentang Malik yang saat menjelang pertunjukan berakhir, ia sedang bersama Den Karso Sang Tokoh yang menjadi benang merah permasalahan mereka. Saya pikir, Den Karso adalah sosok yang sangar seperti mafia di film-film Hollywood, ternyata tidak. Sosoknya seperti pohon yang kekurangan air. Nyaris ringsek dan sakit-sakitan. Dengan segala ambisinya yang aneh ia menyuruh Malik menyingkirkan semua karyawan. Namun yang mengejutkan, justru Den Karso habis di tangan Malik dengan dua letusan pistol.

Dor! Dor! Den Karso terkapar. Saya puas dengan adegan itu.

Pada akhirnya, semuanya Para Petarung itu kalah oleh dirinya sendiri. Memang pertarungan paling sulit adalah ketika seseorang bertarung dengan dirinya sendiri. Bertarung melawan masa lalunya, melawan ambisinya sendiri. Tetapi masing-masing tokoh juga menang dalam pilihan-pilihan yang telah mereka tentukan, lepas apakah itu tepat atau tidak menurut dunia.

Kalau boleh mengungkapkan catatan atas pentas itu, saya cukup terganggu dengan musik yang terlalu mendominasi volumenya, sehingga syair atau kalimat-kalimat yang dinyanyikan kurang bisa tertangkap, padahal bagi saya itu penting. Mestinya musik itu mengiring, bukan memimpin.

Selebihnya, sebagai pertunjukan teater musikal, Para Petarung telah menyuguhkan cerita yang mengajak saya termenung dan mengingat kalimat Nietzsche : “Mungkin aku tahu benar mengapa hanya manusia satu-satunya makhluk yang tertawa; sebab manusia adalah satu-satunya yang merasakan derita begitu dalam”. []

Indah Darmastuti,
penulis dan penikmat seni pertunjukan