Kesibukan Aktor "Para Petarung"
Para tokoh memiliki dua perwatakan paradoks yang menjadi “arus besar” yang berkelindan di sepanjang kisah “Para Petarung”.
Oleh: Asa Jatmiko
AKTOR mempunyai tugas utama menghidupkan tokoh atau karakter dalam sebuah lakon. Untuk dapat bermain dan memerankannya, ia harus mendekati/mengenali tokoh yang dimainkan, untuk kemudian memasuki karakter tokoh dengan seluruh perangkat yang dimiliki aktor. Baik pada kondisi dukungan artistik yang lengkap maupun minimalis, aktor menjadi pusat yang menggerakkan lakon.
Hal-hal di luar aktor, sebagus apapun tata artistiknya, semewah apapun panggungnya, semumpuni apapun lawan mainnya, penentu gerak hidup lakon tetap ada pada aktor. Dengan kata lain, hal-hal di luar aktor yang membersamainya tidak lebih merupakan pendukung laku aktor. Aktor harus mampu merespon, menyelaraskan, memanfaatkan, dan bilamana diperlukan: menciptakan (gerak) di dalam laku adegan secara pas. Pusat lakon dalam sandiwara ini, tetaplah aktor.
Lakon “Para Petarung” yang saya tulis, tengah dimainkan oleh Teater Djarum dalam pentas keliling 4 kota tahun 2025 ini. Empat kota yang disinggahi, antara lain: Surabaya, Bandung, Surakarta dan berakhir di kota asalnya; Kudus. Dimainkan oleh 10 aktor dan 10 anggota koor, dan didukung tim artistik tidak kurang dari 20 orang. Kelompok teater ini berusaha untuk menghadirkan serangkaian proses yang baru, minimal bagi personelnya. Pada proses sebelumnya, misalnya di dalam lakon “Petuah Tampah” para aktor mengeksplorasi properti masing-masing dan menghidupkannya menjadi bagian yang tidak terpisah dari laku aktingnya.
Properti diniscaya oleh para aktor memiliki sejarah hidup yang khas, sehingga kehadirannya diupayakan juga untuk memiliki “kehendak bebas”-nya. Sementara di lakon terakhir yang dimainkan di 4 kota sepanjang tahun 2024 berjudul “Liang Langit”, kelompok ini mengeksplorasi kekuatan seting sebagai bagian dari dinamika pertunjukan. Gondola yang mengusung seorang pekerja membersihkan dinding kaca gedung bertingkat, mencoba menawarkan kejutan dan tekanan emosi yang dirasakan aktor, senyampang menawarkan gagasan nilai dan perjuangan hidup orang kecil di tengah gelora pembangunan berikut pemaknaannya atas simbol-simbol, antara lain: tali, dunia atas dan dunia bawah, keterbatasan (sekaligus bisa dibaca sebagai: kebebasan) ruang gerak, dan sebagainya.
Keterkaitan aktor dengan set panggung, properti serta artistik lainnya di dalam naskah-naskah yang pernah dimainkan mereka, telah memberikan kesempatan luas ruang eksplorasi bagi para aktor. Respon atas situasi, dramatik, mendapat dukungan dan penajaman oleh unsur-unsur artistik yang membersamainya. Di sini, meskipun aktor memegang peranan kunci untuk menggerakkan kehidupan di atas panggung, namun kehadirannya seolah tak ubahnya penghuni panggung yang sama pentingnya dengan unsur-unsur artistik pemanggungan. Bahkan pada kasus tertentu, misalnya adanya gangguan teknis pada artistik, aktor bisa “terbunuh” tanpa bisa berbuat apa-apa. Aktor dengan segala kemampuannya, bisa saja kemudian menjadi tak mampu, akibat adanya persoalan di wilayah artistik. Kita perlu untuk membawa kembali kesadaran aktor sebagai pusat lakon.
Misi Paradoks dan Pusat Lakon
Proses yang tengah dilewati oleh kelompok teater yang beranggotakan karyawan PT. Djarum ini mencoba memperkuat kembali kesadaran aktor akan eksistensi mutlak dirinya di atas panggung. Menjadi kunci sekaligus pengendali atas dinamika alur dan dramatika adegan. Menjadi reflektor atas ruang, situasi dan emosi mitra-aktor. Dan menampilkan gambaran pemikiran, visi dan emosional tokoh di dalam laku aktingnya. Aktor diharapkan merepresentasikan tokoh sekaligus unsur-unsur artistik bagi mitra-aktor. Keempat hal tersebut berkelindan dengan pembangunan karakter tokoh yang tengah diperankannya, menyatu dalam laku hidup tokoh.
Para aktor yang memerankan tokoh masing-masing dituntut untuk memperkuat karakter tokoh yang dimainkannya dalam paradigma sebagai pemeran utama. Sejak melakukan pembacaan naskah, setiap aktor dan pada gilirannya setiap tokoh, harus menempatkan dirinya sebagai tokoh utama. Ia harus mengurangi proyeksi kekuatannya untuk mendukung tokoh utama sebagaimana dalam setiap lakon yang ada selama ini, ia harus menempatkan kepentingannya setara unsur-unsur artistik bagi mitra-aktor. Sekali lagi, dalam lakon ini para aktor mengeksplorasi dirinya untuk menjadi pusat-pusat konflik itu sendiri.
Apa yang diharapkan adalah pertarungan itu sendiri, sebagaimana konsep awal penulis mengutarakan gagasannya dalam “Para Petarung”. Para tokoh memiliki dua perwatakan paradoks yang menjadi “arus besar” yang berkelindan di sepanjang kisah “Para Petarung”. Awalnya menjadi orang kepercayaan kemudian berbalik melawan, tokoh lain awalnya menjilat atasan lalu tampil mengkhianatinya. Ada juga perwatakan lain di tokoh lainnya; awalnya membela mati-matian terhadap atasan untuk kemudian menjadi pembunuh atasannya, ada yang memainkan tokoh yang pada mulanya tampil sebagai orang kalahan lalu justru menjadi paling menguasai.
Karakter-karakter dengan perwatakan paradoks yang tegas ini diusung oleh setiap aktor dalam “Para Petarung”, tidak hanya pemeran laki-laki namun juga pemeran perempuan. Seorang perempuan yang menggambarkan dirinya hidup dalam suasana tentram damai tiba-tiba berubah menyadari kehidupannya sebagai kekalahan dan kekecewaan. Awalnya tampil menjadi penengah justru kemudian harus menjadi orang kunci pembuka aib orang lain. Ada yang mengawali dirinya sebagai pejuang keadilan yang kemudian berakhir sebagai korban ketidakadilan, sementara tokoh lain hadir dengan dewasa yang “nrima ing pandum” tetapi toh kemudian memberontak dan melakukan perlawanan dengan diam seribu bahasa. Orang yang awalnya dikenali sebagai seorang pemberani karena sikap-sikapnya yang benar, pada gilirannya mengakui perbuatannya melakukan manipulasi laporan keuangan, korupsi dengan kamuflase membangun rumah ibadah untuk masyrakat.
Pandangan atau pemikiran paradoks yang harus ada dalam setiap aktor tersebut, menjadi dasar untuk mewujudkannya dalam laku akting. Perbedaan dan perlawanan itu harus semakin jelas. Misalnya pada saat menjadi tangan kanan atasan, laku tokoh akan dibawa menjadi sosok/karakter yang penuh wibawa, mempesona sekaligus menakutkan bagi bawahannya. Lalu pada saat arus besarnya menjadi lawan (melawan) pimpinan, maka laku akting akan cenderung menampilkan kemarahan, kesombongan, sesekali juga merasa menjadi korban dan keras menantang. Demikian juga dengan tokoh-tokoh lainnya.
Apakah hal-hal kecil, motif dan motivasi kecil, tidak diperlukan? Perlu, dan justru sangat penting. Mengapa saya (aktor) harus memainkan pistol, misalnya, harus diberi motivasi. Mengapa harus menerima tas berisi dokumen penting perusahaan, misalnya. Mengapa saya harus menyibakkan rambutnya, dan lain-lain. Kejelasan motivasi pada setiap laku akting kecil tadi akan mempertajam watak dan penokohan.
Balutan Musikal untuk Aktor “Tong-Stand”
Di sebuah perhelatan pasar rakyat, kita seringkali menjumpai arena Tong Setan (Tong-Stand). Seseorang di bawah terlihat mempersiapkan diri dengan sepeda atau sepeda motornya, untuk kemudian ia sudah mengendarai sepeda atau motornya di atas papan-papan kayu yang berbentuk tong besar, berputar-putar “jalan keliling” mengelilingi sisi dalam tong tersebut. Pengendara itu adalah aktor. Yang dengan kecepatannya, dengan intensitas kesadaran dan konsentrasi yang tinggi, menari-nari di atas sepeda atau sepeda motornya. Seolah ruang dan segala unsur pendukungnya ada di dalam kendalinya. Pengendara itulah pusat dari lakon yang diperagakan saat itu.
Analogi yang sama diterapkan sebagai konsep keaktoran “Para Petarung” oleh Teater Djarum kali ini. Ini peran yang berbahaya, apabila tiap aktor tidak melengkapi dirinya dengan kecepatan, kepekaan dan kekuatan, tidak memiliki kesadaran dan konsentrasi yang tinggi, maka dia akan terjatuh berikut tokoh yang dimainkannya. Teks-teks dialog tidak lagi menjadi sekadar letupan dari mulut seorang aktor, pada beberapa kesempatan ia juga harus menyampaikannya dengan nyanyian. Sebagai pengendara motor di tong-stand yang meliuk-liuk sembari menari-nari di atas kendaraannya.
Beberapa lagu akan disisipkan untuk menjadi bagian penting dari laju pemanggungan secara utuh. Lagu-lagu tersebut mengungkapkan persoalan-persoalan yang tidak bisa disampaikan langsung melalui percakapan, oleh karena memuat suasana batin tokoh, simbol dan pemaknaan akan nilai dan sikap tertentu. Sangat mungkin akan ada aktor yang melagukan nyanyiannya dengan merdu, sumbang, apa adanya dan sebagainya, tetapi keyakinan yang tegas menjadi hal mendasar dan terpenting bagi tiap aktor.
“Para Petarung” dengan berbagai tawaran konsep, metode dan gaya pemanggungan, menjadi tanggungjawab moral sutradara untuk membawa proses kreatif teater dan jelajahnya tetap berlangsung. Semoga.***
Asa Jatmiko
penyair, penulis lakon dan sutradara.
penaGramofon
Media Teater Djarum berbagi pemikiran, pengetahuan, karya-karya kreatif seni pertunjukan (teater) dan kebudayaan.
Hubungi kami:
saran & masukan
+6285640138863
Pena Gramofon © 2025. All rights reserved.