Lapisan-lapisan Kelam "Para Petarung"

Tetapi penulis lakon tidak melanjutkan bagaimana mereka mengekspresikan rasa gembiranya, penulis justru menindih dengan persoalan yang menyimpan konflik yang tertutup yang ada di perusahaan. Persoalan apakah itu?

Oleh: Hanindawan

LAKON "Para Petarung" karya Asa Jatmiko dibuka dengan kegembiraan para pekerja yang naik ‘jabatan' dari pekerja borongan menjadi pekerja harian. Para pekerja tidak dibayar berdasar hasil jumlah pekerjaan, tetapi dibayar berdasar dedikasi, loyalitas hingga kepemimpinan.

Rasa gembira itu diekspresikan oleh Partiyem dengan mengundang kawan-kawannya agar datang ke rumahnya, untuk berpesta kecil-kecilan.

Lakon yang diuraikan ke dalam 5 babak ini tidak lagi memperpanjang kebahagiaan para pekerjanya. Kebahagiaan itu ditampilkan hanya sepotong, ketika diumumkan ada kenaikan jabatan. Bagi para pekerja, kenaikan jabatan ini berarti kenaikan gaji. Kenaikan nasib baik. Tetapi penulis lakon tidak melanjutkan bagaimana mereka mengkepresikan rasa gembiranya, penulis justru menindih dengan persoalan yang menyimpan konflik yang tertutup yang ada di perusahaan. Persoalan apakah itu?

Ternyata ada salah satu pekerjanya yang bernama Suli, tidak ikut serta naik jabatan. Kenapa Suli tidak naik jabatan seperti kawan-kawan yang lain? Karena Suli tidak mau menggugurkan kandungannya, hasil ‘pergumulannya' dengan Den Karso pemilik perusahaan.

Warna kelam di perusahaan ini tersimpan tanpa gejolak. Bahkan Suli sebagai ‘korban' tidak pernah menuntut kepada Den Karso. Yang dilakukan Suli adalah melindungi kehamilannya. Dia menolak permintaan Den Karso untuk menggugurkan. Padahal bila dia bersedia menggugurkan kandungannya, ia pun akan naik jabatan. Tetapi Suli lebih memilih menyelamatkan calon bayinya. Meskipun pada perkembangan cerita sehari setelah kelahiran, bayi itu mati.

Rukmi sesama pekerja perempuan yang mendengar hubungan Den Karso dengan Suli, tidak berhasil memprovokasi Suli untuk menuntut keadilan. Selanjutnya alur cerita pun tidak ‘berhulu' dan ‘berhilir' dari awal suasana kelam tentang kehamilan Suli. Tentang hubungan ‘gelap' antara pemilik perusahaan, Den Karso dengan pekerjanya, Suli. Nasib kelam yang dialami Suli tidak berkembang menjadi gejolak.

Cerita beralih pada ‘pergerakan rahasia' yang dilakukan oleh para pekerja, Martosuto dan Malik. Apa yang mereka lakukan?

Martosuto masuk ke dalam sebuah ruangan, sementara Malik, sebagai pekerja baru diminta berjaga-jaga di luar ruangan. Tidak setiap orang bisa masuk ruangan ini. Hanya orang orang kepercayaan Den Karso saja, itu pun tidak semuanya. Ada banyak barang barang berharga dan rahasia di sini. Begitu kata Karsito yang menangkap basah perbuatan Martosuto dan Malik.

Martosuto sengaja mengambil beberapa dokumen penting dan akta tanah. Ia berdalih untuk menyelamatkan nasib perusahaan yang mulai goyah, lantaran kondisi Den Karso yang sedang sakit. Alasan itu tidak bisa diterima begitu saja oleh Karsito. Tetapi Karsito justru terperdaya oleh fitnah yang dilakukan Martosuto.

Bawa Karsito keluar kota ini. Lenyapkan! Begitu perintah Martosuto kepada para pekerja sambil memberikan pistol kepada salah satu pekerja yang merubungnya.

Benturan antar pekerja pun tak terhindarkan. Dan berkat fitnah yang dilakukan oleh Martosuto, akhirnya Karsito dilenyapkan dengan cara ditembak.

Rukmi sebagai istri Karsito hanya menunggu kenapa suaminya tak segera pulang ke rumah. Ia tidak melakukan langkah apa pun. Kata Rukmi: mungkin memang dia tidak pulang. Dia memang terlalu keras bekerja, sampai-sampai sering tidak memperdulikan hal lainnya. Lupa waktu, lupa makan, lupa pulang...

Cerita tidak mengembangkan kematian Karsito, peristiwa kriminal itu berlalu begitu saja, karena fokus peristiwa adalah ‘pertarungan' pekerja wanita, antara Sukeni, Wartiyah dan Partiyem. Wartiyah membela Partiyem yang dihasut memanipulasi laporan keuangan bagian pemasaran. Secara terang-terangan Sukeni menuduh Partiyem sebagai koruptor! Tetapi pertarungan itu mandeg, tidak berlanjut karena Partiyem dan Wartiyah meninggalkan arena perkelahian. Di akhir adegan Sukeni justru mengaku: ‘Sudah aku putuskan untuk memanipulasi laporan keuangan bagian pemasaran, agar aku bisa membantu masyarakat membangun tempat tempat ibadah. ‘

Gonjang ganjing para pekerja di perusahaan milik Den Karso masih terus berlanjut, ketika Birawa tangan kanan Den Karso menolak panggilan untuk menghadapnya. Kenapa Birawa menolak panggilan Den Karso, padahal dialah orang kepercayaan Den Karso?

Birawa dalam lakon ini salah satu tokoh penting. Birawa adalah seorang kepercayaan Den Karso. Dialah yang mengumumkan kenaikan jabatan para pekerja. Birawalah yang diperintah Den Karso, agar Suli menggugurkan kandungannya. Birawa banyak berperan turut membesarkan perusahaan. Dipercaya untuk membungkam buruh yang demontrasi meminta kenaikan upah. Bahkan Birawa merasa berhutang budi karena Den Karso telah menyelamatkan dirinya terbebas dari hukuman penjara karena telah membunuh seorang polisi.

Kenapa mendadak Birawa menolak menghadap Den Karso, bahkan sekarang dia merasa muak. Ini sebuah perlawanan sikap, atau bentuk pengkhiatan? Yang jelas, Birawa tidak pernah mendapat apresiasi dari pemilik perusahaan, tidak pernah mendapatkan hak istimewa. Birawa merasa dirinya dianggap biasa-biasa saja. Karena itulah, Birawa tidak mau menghadapnya. Itu berarti Birawa memiliki sikap untuk tidak lagi mau bekerja di perusahaan Den Karso. Di depan Suli Birawa mengatakan: Aku tidak bisa menerima semua itu, Suli. Dia tidak hanya telah merenggut semua kehidupanku hanya untuk perusahaannya, tapi lebih dari itu, dia secara sadar atau tidak telah merampok segala urusan pribadiku dan membunuh kemanusiaanku. Dia menginginkanmu tanpa mencintaimu Suli. Kamu tahu kenapa? Sebab dia tahu aku mencintaimu.

Itulah puncak perselisihan yang terjadi di dalam perusahaan Den Karso. Lalu bagaimana nasib Birawa, pekerja yang lain dan perusahaannya?

Penulis lakon memberi jawaban yang lain, yang sekaligus menutup lakon "Para Petarung", dengan pernyataan Den Karso: Aku sudah lelah, Malik. Aku ingin memulai lagi dengan membuat perusahaan yang baru, dari nol, dimana gairahku hidupku mengalir kembali. Tetapi itu tidak mungkin apabila mereka masih ada. Aku ingin yang benar benar baru.(JEDA) Kamu habisi saja mereka semua.

Dalam suasana kelelahan seperti itu muncul ‘arwah’ Karsito ia menghujat Den Karso, dan akhirnya Karsito mendekati Malik yang membawa pistol. Tiba-tiba terdengar bunyi letusan pistol. Den Karso tergeletak.

Itulah puncak kelam dalam lakon ini. Terbayang sebuah perusahaan yang menjadi seting peristiwa seluruh lakon, runtuh, bubar, menuju ‘alam kubur’.***

10 September 2025.

Hanindawan
Suka sandiwara, aktor, sutradara dan penulis lakon.