Manusia-manusia Petarung Berwatak Paradoks
Lakon ini bukanlah drama dengan satu plot tunggal yang linear, melainkan jalinan konflik yang memperlihatkan beragam sisi gelap manusia. Setiap tokoh di panggung "Para Petarung" mengusung perwatakan paradoks yang tegas, menunjukkan bahwa dalam diri setiap orang, selalu ada dua sisi yang saling bertarung.
Oleh: Irwan Jamal
"Para Petarung" lakon karya Asa Jatmiko, yang dibawakan dalam pentas keliling empat kota (Surabaya, Bandung, Surakarta, dan Kudus) oleh para karyawan PT Djarum Kudus di tahun 2025 ini, mengangkat kisah orang-orang kecil yang tidak memiliki nama besar, hanya memiliki mimpi yang begitu sederhana: ingin hidup bahagia. Namun, lakon ini secara tragis menunjukkan bahwa mendapatkan kebahagiaan bukanlah perkara mudah bagi mereka. Di tengah kehidupan mereka, selalu ada "orang besar" yang memiliki kuasa. Orang besar ini bisa mengangkat derajat mereka menuju kehidupan yang lebih layak, sekaligus menjatuhkan mereka hingga menjadi budak yang kehilangan kehendak. Satu-satunya cara agar para tokoh ini dapat merebut kembali kehendak mereka adalah dengan bertarung, menjadi seorang petarung. Mereka bertarung diam-diam di sebuah arena yang tak kasat mata: arena watak manusia yang tidak bisa terbaca dan penuh misteri.
Berlatar di sebuah perusahaan, lakon ini mengisahkan pergulatan paradoks yang menjadi “arus besar” yang berkelindan di sepanjang kisah. Melalui intrik jabatan, kelicikan tersembunyi, dan pengkhianatan yang tak terduga, lakon ini secara tajam menggambarkan bagaimana lingkungan yang menekan dapat memperlihatkan sisi-sisi tersembunyi dari karakter seseorang. Pada saat yang sama, lakon ini juga menunjukkan potensi mereka untuk berubah dan mengambil tindakan ekstrem demi hal yang mereka perjuangkan, entah itu kekuasaan, keadilan, atau sekadar bertahan hidup.
Kisah ini bergulir di awal adegan saat acara promosi jabatan yang disampaikan oleh Birawa atas perintah sang majikan, Den Karso. Tokoh-tokoh seperti Martosuto, Sukeni, Rukmi, Partiyem, Karsito, dan Wartiyah dipromosikan, namun secara mengejutkan Suli tidak. Keputusan ini memicu kegelisahan mendalam bagi Rukmi, sahabat Suli, yang merasa ada ketidakadilan yang janggal. Pada mulanya, pertanyaan atas kegelisahannya tidak pernah benar-benar terjawab, sampai kemudian terungkaplah sebuah kepahitan besar: Suli sedang mengandung anak dari majikannya, Den Karso.
Den Karso, melalui Birawa, memerintahkan Suli untuk menggugurkan kandungannya sebagai syarat mutlak untuk promosi kenaikan jabatan. Namun, Suli menolak tegas, berdiri teguh di atas prinsipnya. Ia menganggap bayinya sebagai buah cinta dan calon manusia yang harus ia lindungi, sebuah nilai yang tidak bisa ditukarkan dengan iming-iming promosi jabatan. Penolakan Suli ini bukan hanya menantang Den Karso, tetapi juga menggerakkan setiap karakter di sekitarnya untuk menghadapi dilema moral mereka masing-masing.
Lakon ini ditutup dengan akhir yang tragis, di mana Den Karso, sang majikan yang dikabarkan sakit, muncul di adegan terakhir hanya untuk menghadapi nasibnya. Dihantui oleh arwah Karsito yang hanya tampak dalam bayangannya, Den Karso mengalami nasib yang mirip dengan Macbeth dalam kisah Shakespeare yang dihantui oleh arwah Banquo. Tidak ada seorang pun yang dapat melihat arwah itu selain orang yang memerintahkan pembunuhannya. Puncaknya, Den Karso menemui ajalnya di tangan Malik, orang kepercayaannya sendiri, yang merasa dituntun oleh arwah Karsito untuk mengarahkan pistolnya. Kisah ini menjadi penutup yang ironis, di mana kekuasaan dan intrik yang dibangun di atas penderitaan orang lain akhirnya berujung pada kehancuran diri sendiri.
Lakon ini bukanlah drama dengan satu plot tunggal yang linear, melainkan jalinan konflik yang memperlihatkan beragam sisi gelap manusia. Setiap tokoh di panggung "Para Petarung" mengusung perwatakan paradoks yang tegas, menunjukkan bahwa dalam diri setiap orang, selalu ada dua sisi yang saling bertarung. Martosuto, yang dipromosikan naik jabatan oleh Den Karso, memiliki hasrat kuat untuk mengambil alih perusahaan saat sang majikan sakit, menampilkan dualisme antara loyalitas dan ambisi. Sukeni, yang memanipulasi uang perusahaan, melakukannya dengan dalih mulia: membangun tempat ibadah untuk masyarakat demi memperbaiki citra perusahaan—sebuah tindakan yang memadukan kebajikan dan kebohongan. Birawa sendiri terjebak dalam dilema yang menyakitkan; ia harus memendam perasaan cintanya pada Suli karena bersaing dengan majikannya sendiri. Bahkan pembunuhan keji terhadap Karsito, yang diperintahkan oleh Martosuto, pada akhirnya meninggalkan penyesalan mendalam bagi pelakunya, sebuah bukti bahwa bahkan dalam kegelapan, hati nurani masih dapat meronta.
Lakon ini secara efektif menggunakan lingkungan perusahaan sebagai sebuah medan tempur, tempat para karyawan bertarung, bukan hanya untuk mempertahankan pekerjaan mereka, tetapi juga untuk melawan takdir yang tidak menentu. Asa Jatmiko dengan cermat merangkai konflik yang lahir dari interaksi antarmanusia, seperti intrik jabatan dan persaingan yang tidak sehat, yang pada akhirnya memanifestasikan kelicikan dan pengkhianatan. Seperti yang diucapkan oleh tokoh bernama Rukmi, sebuah dialog yang menjadi perenungan bagi semua: "Kehidupan di luar rumah, tak pernah bisa diduga. Ia selalu memberikan kejutan-kejutan." Dialog ini secara tajam mewakili bagaimana hubungan pertemanan yang tampak harmonis dapat runtuh oleh sistem yang menuntut ambisi dan kesetiaan palsu, mendorong mereka untuk saling menyingkirkan demi jatah dan posisi.
Kekuatan lakon dari "Para Petarung" terletak pada penggambaran sifat manusia yang tidak terduga. Lakon ini secara cermat menyoroti bahwa di balik tindakan yang paling dipercaya kebenarannya, selalu ada celah ketidakbenarannya dan memberi kemungkinan untuk berubah. Karakter-karakter yang pada awalnya digambarkan sebagai sosok yang baik bisa menjadi jahat pada akhirnya, atau sebaliknya. Perubahan ini tentu bukan terjadi secara instan, melainkan melalui serangkaian peristiwa yang memaksa mereka untuk merefleksikan kembali nilai-nilai moral mereka.
Pada akhirnya, "Para Petarung" bukan sekadar cerita tentang perjuangan para pekerja. Ia adalah cerminan universal tentang kondisi manusia dan keajaiban yang ada pada orang-orang kecil. Lakon ini mengajarkan kita bahwa dalam setiap individu terdapat dualisme: kemampuan untuk menyakiti dan potensi untuk mengampuni, kapasitas untuk berkhianat dan kekuatan untuk setia. Perubahan karakter di akhir kisah menjadi pengingat yang kuat bahwa nasib seseorang tidak sepenuhnya ditentukan oleh latar belakang atau lingkungan, melainkan oleh pilihan yang mereka ambil. Asa Jatmiko berhasil menciptakan sebuah drama yang kuat, relevan, dan penuh makna tentang arti sebenarnya dari menjadi seorang "petarung"—yaitu mereka yang terus berjuang untuk hidup dalam mimpi-mimpinya yang sederhana.
Bandung, 20 Agustus 2025
Irwan Jamal
aktor, penulis lakon, sutradara dan dosen ISBI Bandung.
penaGramofon
Media Teater Djarum berbagi pemikiran, pengetahuan, karya-karya kreatif seni pertunjukan (teater) dan kebudayaan.
Hubungi kami:
saran & masukan
+6285640138863
Pena Gramofon © 2025. All rights reserved.