"Para Petarung" Tak Pernah Selesai Bertarung

Pemilihan nama-nama tokoh Jawa, mengisyaratkan bahwa karakter Jawa bagi para pemainnya. Lemah lembut, pemalu, sopan pada sisi luarnya. Namun pada sisi yang lain bisa seperti macan yang siap menerkam dan mencabik-cabik mangsa.

Oleh: Kusprihyanto Namma

“Para Petarung”, naskah drama Asa Jatmiko lima (5) babak yang penuh dengan intrik. Terdiri dari sepuluh pemain: Rukmi, Suli, Partiyem, Wartiyah, Martosuto, Sukeni, Karsito, Malik, Birawa, dan Den Karso. Pemilihan nama-nama tokoh Jawa, mengisyaratkan bahwa karakter Jawa bagi para pemainnya. Lemah lembut, pemalu, sopan pada sisi luarnya. Namun pada sisi yang lain bisa seperti macan yang siap menerkam dan mencabik-cabik mangsa.

Den Karso adalah pemilik pabrik yang paling berkuasa. Sabda pandhita ratu. Apa yang menjadi ucapnya adalah hukum. Tak ada orang yang berani menentangnya. Karena hampir semua pekerja menempatkan dirinya pada puncak mercusuar. Menjadi cahaya dan penolong. Semua tindakannya adalah kebenaran. Dalam ketidakbenaran pun tetap menjadi kebenaran yang harus dipatuhi. Semua cacat celanya harus tertutup rapi.

Birawa merupakan tangan kanannya. Orang kepercayaan. Dalam suatu rezim selalu ada orang kepercayaan. Pembisik yang paling dipercaya. Birawa mantan narapidana (pembunuh kepala polisi) yang dibebaskan Den Karso. Hutang budi yang terus menghantui. Seburuk-buruk tuannya harus tetap dijaga martabatnya.

Adegan dibuka oleh Birawa yang mengumumkan kenaikan pangkat bagi para pekerja. Yang semula borong menjadi harian. Tentu mereka yang mendapat kenaikan pangkat bergembira luar biasa. Partiyem adalah wajah asli Jawa tulen. Penghasilan 50.000 sehari, pengeluaran 60.000 per hari. Pada kenaikan pangkat tersebut, langsung mengajak kawan-kawannya makan-makan. Yang penting enjoy dulu. Hutang urusan belakang.

Dari sekian orang yang dipanggil hanya Suli yang tidak mendapat kenaikan pangkat. Teman yang lain, siapa mau peduli. Suli biarlah Suli, Sang Bos pasti punya pertimbangan sendiri dengan mengabaikannya. Namun Rukmi mencoba memprotes kebijakan itu dengan mengatakan sebagai sebuah ketidakadilan. Solidaritas itu penting. Karena kepedulian itulah, manusia tetap terjaga rasa kemanusiaannya. Bukankah puncak tertinggi beragama adalah kemanusiaan?

Dua wanita akhirnya bertemu dalam labirin nasib yang berbeda. Rukmi menanyakan kenapa diam dengan ketidakadilan. Wanita tak boleh hanya mempertontonkan kelemahannya saja, namun juga harus berani membela hak-haknya. Kartini sudah memperjuangkan emansipasi, agar wanita dan pria sederajat. Ketika ditindas harus berani bersuara. Karena diam hanya membenarkan ketidakbenaran merajalela.

Suli perempuan yang teguh. Ia kunci deritanya dalam tubuh sendiri. Meski hati menjerit, namun tetap menampilkan diri dalam ketenangan. Seperti air lubuk yang dalam, menyimpan sejuta teka-teki di baliknya. Suli ternyata perempuan simpanan Sang Bos yang sedang hamil. Ia dipaksa menggugurkan kandungan, namun ditolaknya. Karena benih yang ada dalam tubuhnya adalah tubuhnya sendiri yang mesti dirawat dan dicintai. Tak ada kata aborsi. Babak pertama ditutup dengan terbukanya perselingkuhan.

Babak kedua Martosuto dan seorang pekerja baru bernama Malik, masuk ke sebuah ruangan terlarang. Hanya Sang Bos yang boleh memasukinya. Karsito memergoki Malik yang berada dalam ruangan terlarang. Tentu sejuta kecurigaan mengepungnya. Karena tanggungjawabnya yang kuat, ia tangkap Malik. Menyebutnya sebagai maling. Namun mendadak Martosuto muncul dan menyergap Karsito.

Babak ketiga dimulai dari Rukmi yang nampak tidak terurus, lusuh, dan habis sakit. Bersolilokui tentang perjalanan hidupnya yang muram. Kehilangan demi kehilangan, bahkan sudah kehilangan sebelum kehilangan datang. Karsito yang telah dibunuh kawan-kawannya sendiri ternyata milik Rukmi. Hati wanita tak salah menduga. Meski mereka menutupinya, degup kepalsuan begitu terasa.

Setiap orang punya masa lalu. Partiyem perempuan jalang yang telah bertobat, harus menerima fitnah bahwa ia memanipulasi laporan keuangan. Penuduhnya Sukeni, yang ternyata ia sendiri yang melakukannya dengan alasan demi pembangunan tempat ibadah. Agar Sang Bos mempunyai muka. Tak peduli kawan sendiri dikorbankan. Sebuah cermin retak bahwa cukup banyak di sekitar kita, tempat-tempat ibadah yang terbangun indah, namun di dalamnya terselip uang haram.

Rukmi perempuan baik pembela Suli. Terbiasa dengan cemas dan ketakutan. Berdamai dengan kematian yang sewaktu-waktu datang. Instingnya yang tajam, telah mencium sudah terjadi sesuatu terhadap Karsito, walau hanya satu malam belum pulang.

Birawa memapah Suli, sebagai awal babak keempat. Seluruh denyut perusahaan sesungguhnya berada dalam tangan Birawa. Den Karso tahu, Birawa sangat mencintai Suli, maka ia menginginkan Suli tanpa harus mencintai. Tubuh Suli harus dicicipi, ditali, dicincang untuk membuat Birawa terus terpenjara.

Ketika Malik meminta Birawa memenuhi panggilan Den Karso, ia menolak. Birawa ingin jadi orang merdeka. Ingin mencintai Suli dengan cinta yang paling menyala. Birawa sudah memutuskan untuk melawan. Suli tak bisa terus-menerus jadi tawanan. Ia harus jadi wanita merdeka, yang berhak mendapatkan cinta. Bukan wanita yang disia-siakan semata. Babak ini benar-benar paling romantis.

Babak lima adalah babak terakhir. Malik berpakaian polisi. Meski berpakaian polisi, belum tentu ia polisi. Karena terbukti ada polisi gadungan. Polisi karnaval. Den Karso sudah mendapat laporan lengkap dari Malik. Ia memutuskan untuk membuat perusahaan baru, namun itu berat. Maka ia perintahkan untuk menghabisi mereka semua. Sebelum terlaksana, mendadak hantu Karsito datang dengan kening bolong.

Karsito tidak menyesali kematiannya, ia menyesali Den Karso yang tidak memahami bahwa setiap orang sudah turut dalam perjuangan. Mengapa semua harus disandera. Mengapa semua dipermainkan rasanya. Padahal mereka hanya memiliki mimpi-mimpi sederhana. Karsito merasuki Malik. Dari tangan Malik yang berpakaian polisi Den Karso tertembak dan terjungkal dari kursinya.

Hidup adalah medan tarung
Para Petarung selalu bertarung

Den Karso bisa jadi Tunggul Ametung yang merebut Ken Dedes (Suli), dari tangan Ken Arok (Birawa). Dan Karsito jelmaan Kebo Ijo yang mati terfitnah, dan rohnya bergentanyangan. “Para Petarung” belum selesai dengan matinya Den Karso. Masih banyak pertanyaan yang membutuhkan jawaban. Benarkah Malik seorang polisi. Berarti kebusukan Den Karso sudah tercium aparat, dan ia berhak mendapat hukuman.

“Para Petarung” tak pernah selesai bertarung. Asa Jatmiko memberi gambaran secara telanjang. Lengkap, beserta intrik-intrik yang mengiringinya. Bagaimana orang saling menyikut untuk berebut posisi. Wajah-wajah asli terbalut dengan topeng-topeng palsu. Sepertinya kawan, ternyata lawan yang ingin melenyapkan. “Para Petarung” kisah perebutan harta, tahta, dan wanita yang digarap dengan bahasa yang lincah, renyah, dan gurih.

Yang paling menarik tentu bagaimana pengarang mengakhiri ceritanya. Dalam tradisi Jawa, sering dikisahkan bahwa sebelum ajal menjelang, kakek atau orang tua datang menjemput. Kali ini Den Karso diajak oleh kawan yang bolong keningnya. Tak apa. Drama juga membutuhkan kemungkinan-kemungkinan. ***

Kusprihyanto Nama
penyair dan sutradara.